Jumat, 15 April 2011

psikologi petualangan

Dalam dunia psikologi kita mengenal adanya psychology of adventure atau psikologi petualangan dimana psikologi petualangan ini dimanfaatkan untuk membantu para aktivis kegiatan alam bebas dalam melakukan kegiatannya. Misalnya dalam proses seleksi sebuah tim ekspedisi dimana para psikolog dapat membantu memformulasikan profil kepribadian tertentu yang diharapkan bagi pembentukan tim atau menformulasikan dimensi yang akan dikembangkan sebagai acuan untuk mengembangkan diri.

Buat pecinta alam di Indonesia persiapan psikologis secara praktis sebenarnya sudah biasa dilakukan, namun sayangnya belum pada tingkatan yang diangkat ke kesadaran untuk memperhatikannya secara lebih mendalam. Artinya secara konsisten melibatkan disiplin ilmu psikologi dalam setiap aktifitasnya. Sebab ternyata aspek psikologis begitu berpengaruh dalam kegiatan arung jeram dan juga kegiatan alam bebas lain, baik dalam pembentukan kematangan emosional, konsep diri, dinamika kelompok atau pun proses mengambil keputusan.
Mendefinisikan Kembali  Arti  Petualangan

Dalam banyak konteks kegiatan kita sering kali menemui distorsi negatif dari kata ”petualangan”. Misalkan saja ”naik gunung”. Dalam konteks ini petualangan diartikan sebagai sebuah perjalanan dimana tujuan dan maknanya tidak jelas. Tak ayal dalam kehidupan sehari-hari kita menemui pertanyaan : ”Untuk apa ya..... naik gunung. Bila sudah susah payah mendaki...... akhirnya susah-susah pula untuk turun lagi. Paling-paling cuma rasa capek yang akan didapatkan”. Mendaki gunung dipersepsikan sebagai sebuah perjalanan naik gunung yang tanpa ada tujuannya, kecuali mendapatkan kelelahan yang didapatkan.

Untuk meredefinisikan kembali arti petualangan, sebaiknya kita berbenah dulu dengan menciptakan tools sebagai alat ukur untuk pengembangan diri (agar tujuan dari petualangan yang dilakukan adalah jelas dan terukur oleh siapapun) sehingga argumen yang diberikan bersifat ilmiah.

Salah satu cara sebagai alat ukur yang bisa dipakai adalah mengembangkan kompetensi perilaku dalam melakukan kegiatan petualangan. Hal-hal yang perlu kita kaji adalah dimensi daya juang, daya tahan, keuletan, komunikasi, leadership dan sebagainya. Dengan metode yang tepat dan menggunakan tools kompetensi diharapkan kita dapat memberi makna positif dari definisi petualangan yang mampu memberikan makna pengembangan diri dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Tools ini dapat digunakan sebagai alat bantu untuk asesmen para pengiatnya, dimana dilakukan pre test dan post test untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kegiatan kepecintalaman berpengaruh terhadap perkembangan dan tingkat kematangan seseorang yang berkecimpung didalamnya.
Selanjutnya beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pecinta alam akan kami bahas dibawah ini :

Motivasi Dasar

Motivasi merupakan proses untuk mengatur aktifitas manusia, yaitu dorongan untuk bertindak dan untuk tidak bertindak. Dengan mengetahui motivasi, kita akan mengetahui bagaimana memahami beraneka ragamnya tipekal orang, kenapa ada yang penuh kesungguhan melakukan aktifitasnya, ada yang ogah-ogahan, dan ada juga yang benar-benar tidak serius.

Motivasi dapat kita artikan sebagai berikut:

”Motif adalah penggerak dan pendorong manusia bertindak dan berbuat sesuatu”.

Heckhausen (1967) mengutarakan bila motivasi merupakan aktualisasi dari motif, maka dapat diajukan batasan motivasi sebagai berikut :

”Motivasi adalah proses aktualisasi sumber penggerak dan pendorong tingkah laku individu memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu”.

Ada banyak alasan mengapa seseorang aktif dalam kegiatan pecinta alam. Menurut Mc Clelland dan Atkinson dalam melakukan studi sosialnya mengajukan ada tiga motif sosial yang utama, yaitu :

1. Kebutuhan untuk berprestasi (need for achivement).

2. Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (need for affiliation).

3. Kebutuhan untuk berkuasa (need of power).

Menurut jenis kebutuhan dasar manusia sebagaimana teori Maslow, motivasi dasar manusia adalah:

1. Physiological needs: are the most prepotent of all needs (hunger, sex, and thirst, etc...).

2. Safety need: security, stability, dependency, protection, freedom from fear, from anxiety, and chaos, need for structure, order, law, limitation, strength in the protector, and so on.

3. Belongingness and love needs: need to overcome the widespread feeling of alienation, strangeness, and loneliness, love and affection need.

4. Esteem needs: need or drive a stable firmly based, usually high evaluation of themselves for self-esteem, and for the esteem of other.

5. Need for self actualization: desire to self fulfillment, to the tendency for him to become actualized in what he is potentially.

Karakteristik Pelaku

Secara gradual kita dapat menggolongkan karakteristik perilaku penggiat pecinta alam bebas dalam prespektif risk taking sebagai berikut :

1. Mereka yang Berani Menghadapi Tantangan (Risk Taker)

Mereka mempunyai dorongan untuk memuaskan adrenalinnya. Dalam sisi kehidupannya, yang bersangkutan berani menghadapi tantangan kehidupannya dan mengambil resiko dari kesempatan yang datang kepadanya.

2. Mereka yang Bermain Aman (Safety Player)

Mereka mencari tempat yang aman untuk melakukan kegiatan. Mereka mencari jalan yang lebih mudah dalam meniti jeram yang tidak beraturan dalam berarung jeram. Mereka lebih suka berada dalam zona aman yang terukur, terprediksi, sudah dikenal, aman dan nyaman.

3. Mereka yang Menyerah (Quitters)

Di sekitar kita ada banyak orang dimana mereka memilih untuk berhenti dari perjalanan, mundur dan tidak berani menerima tanggung jawab. Tipikal seperti ini kita sebut quitters, yaitu orang yang menyerah, tidak tuntas dalam menyelesaikan tugas yang diberikan padanya.

Kegiatan kepecintaalamanan yang beresiko selalu diidentikan dengan dimensi risk taking. Zuckerman menjelaskan bahwa ada empat sub dimensi dalam ciri Sensation Seeking: (1) “Pencarian Getaran Jiwa dan Petualangan” yang mana berhubungan dengan kemauan untuk mengambil resiko-resiko yang bersifat fisik dan keikutsertaan dalam olah raga yang beresiko tinggi. (2) “Pencarian Pengalaman” yang mana berhubungan dengan kebutuhan akan pengalaman-pengalaman baru dan menyenangkan dan sub dimensi ini dihubungkan dengan semua jenis pengambilan resiko. (3) “Disinhibition” yang mana berhubungan dengan keinginan untuk mengambil resiko-resiko sosial dan keikutsertaan dalam perilaku-perilaku yang beresiko terhadap kesehatan (misalnya pesta minum-minuman keras atau seks bebas). (4) “Kerentanan terhadap Rasa Bosan” yang mana berhubungan dengan sikap tanpa toleransi terhadap hal yang bersifat monoton.

Meskipun ciri Sensation Seeking saat ini sudah diterima secara luas sebagai suatu pengaruh terhadap perilaku pengambilan resiko, para psikolog juga telah mulai mempertimbangkan batasan-batasannya. Sebagai contoh, apakah ciri-ciri kepribadian yang lain juga mempengaruhi pengambilan resiko? Apakah beberapa pengambil resiko meremehkan resiko-resiko yang terkandung di dalamnya? Apa yang akan dilakukan orang bila mereka kurang mempunyai kesempatan untuk ikut serta dalam jenis-jenis pengambilan resiko tertentu? Mengapa beberapa orang mengambil resiko-resiko dalam bidang tertentu dari kehidupan mereka dan bukannya mengambil resiko dibidang yang lain?

Dengan berkembangnya teori dan metodologi dewasa ini, maka sekarang ini makin jelas bahwa gagasan dari kepribadian pengambilan resiko yang universal pada dasarnya adalah cacat. Dengan kata lain, kita harus memperhatikan konteksnya dulu dalam memandang kepribadian pengambilan resiko. Baru-baru ini ada penelitian yang mengungkapkan bahwa tindakan yang beresiko terhadap kesehatan (misalnya penggunaan obat) dan keikutsertaan dalam olah raga beresiko tinggi (misalnya terbang layang) dihubungkan dengan profil-profil psikologis yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan utama adalah orang yang mengambil tindakan yang beresiko terhadap kesehatan lebih bersedia untuk mengambil resiko-resiko sosial, dan mungkin meremehkan resiko-resiko yang ada didalamnya. Sebagai perbandingan orang yang ikut serta dalam olah raga beresiko tinggi lebih stabil secara emosional dan jarang menderita gangguan emosi dan mereka lebih percaya diri bahwa mereka dapat memanage resiko-resiko yang terkandung didalamnya.
Dinamika Psikologis

Para ahli psikoanalisa yang diilhami oleh Freud menyimpulkan bahwa tidaklah normal untuk mengatasi ketakutan-ketakutan alamiah sama sekali, dan perilaku pengambilan keputusan pada kenyataannya merupakan bukti dari pikiran yang sakit. Mereka kurang bisa memahami setiap alasan mengapa orang memilih untuk membahayakan hidup mereka, dan sebagai akibatnya juga termasuk bahwa para pengambil resiko itu bertindak tanpa alasan. Mereka gagal memahami perilaku pengambilan resiko dari dalam batasan-batasan hipotesis mereka sendiri, sehingga mereka menggolongkan perilaku-perilaku beresiko sebagai ekspresi dari kecenderungan untuk bunuh diri, suatu harapan kematian (“Thantos”) atau perasaan tertekan karena tidak cukup jantan. Oleh karena itu dikemukakan bahwa orang-orang seperti para pendaki gunung adalah tidak logis, atau bahkan patologis.

Para pelaku olah raga beresiko tinggi (seperti para pendaki gunung dan pengarung jeram) cenderung sangat percaya diri bahwa mereka dapat mengatur resiko-resiko yang terkandung didalamnya, dan mereka mempunyai teman-teman yang juga memilih untuk mengambil resiko-resiko yang fatal. Mereka bersedia mengambil resiko-resiko fisik untuk memicu timbulnya respon yaitu berjuang atau menghindar, meskipun dengan tindakan tersebut mereka mempercayakan diri mereka sendiri untuk berada dalam kendali resiko-resiko, namun mereka menganggap getaran hebat yang mereka rasakan ini sebagai suatu kegembiraan dan bukannya suatu ketakutan. Hal ini memenuhi kebutuhan mereka yang luar biasa tinggi akan Pencarian Sensasi (Experience Seeking and Thrill and Adventure Seeking) dan memberi mereka perasaan akan kepuasan yang berasal dari latihan pengendalian dalam keadaan berbahaya, yang lebih mereka terima sebagai tantangan daripada ancaman. Oleh karena itu, situasi-situasi yang mengandung resiko namun tidak mengandung suatu tingkat pengendalian pribadi yang besar (seperti berjudi), tidak akan menarik bagi pengambil resiko semacam ini. Pelaku olah raga beresiko kemungkinan besar laki-laki, dan bisa jadi termasuk tinggi dalam hal stabilitas emosionalnya (gangguan terhadap emosinya rendah) menggambarkan adanya kegembiraan untuk menolak stimuli (aversive stimuli) dan rasa gelisah yang rendah bisa memberikan sebagian penjelasan mengenai rasa percaya diri mereka.

Moto dari pengambil olah raga beresiko bisa jadi “siapa yang berani dialah yang menang”. Jika partisipan olah raga beresiko ini harus digambarkan dalam suatu kalimat, bisa dikatakan bahwa mereka adalah seorang pengambil resiko yang yakin dan secara fisik sangat berani yang didorong oleh kebutuhan akan Pencarian Sensasi dan penguasaan / keunggulan sebagai motivasi berprestasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar